JAKARTA – Jaksa Agung ST Burhanuddin mengungkapkan bahwa ada celah untuk penyalahgunaan dalam Peraturan Kejaksaan RI No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice.
Sebab, kata Burhanuddin, perkara yang tadinya perlu diselesaikan di persidangan, kemudian diputus oleh jaksa melalui keadilan restoratif atau restorative justice.
“Ini kalau bagi jaksa-jaksa nakal ini adalah harapan untuk berbuat tercela,” ujarnya ditemui setelah acara Sound of Justice di Gedung Smesco, Jakarta, Sabtu (19/11/ 2022).
Namun, Jaksa Agung memastikan adanya sistem pengawasan dalam penerapan keadilan restoratif itu.
Hal ini untuk mencegah agar tak disalahgunakan oleh jaksa nakal, yang menjadikan aturan itu sebagai ladang cuan atau cari untung.
“Memang betul sekali, pada waktu saya mau tanda tangan Perja (Peraturan Jaksa Agung) ini, saya masih ragu karena kondisi jaksa pada waktu itu. Tapi dengan satu tekad saya ingin memperbaiki situasi ini,” katanya.
Menurut Burhanuddin, pengawasan dilakukan baik oleh internal kejaksaan maupun melibatkan peran aktif masyarakat termasuk media.
“Kami mencoba membentuk tim pengawasannya selain fungsional yang ada di kami yaitu Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan, kami juga ada Satgas 53,” katanya.
Satgas 53 ini, lanjut Burhanuddin, menjadi ujung tombak Kejaksaan RI untuk mengawasi jaksa-jaksa di daerah dan di seluruh Indonesia.
“Itu (Satgas 53) kami bentuk dalam rangka untuk mengawasi, jangan sampai terjadi, jangan sampai terjadi penyalahgunaan,” kata dia.
Menurut Burhanuddin, sejak Perja Nomor 15 Tahun 2020 itu diterapkan, sudah ada lebih dari dari 2.000 kasus pidana yang diselesaikan lewat mekanisme keadilan restoratif.
Burhanuddin menekankan, program restorative justice yang digaungkan pihaknya untuk membenahi ketimpangan dalam penegakan hukum, yang harusnya bisa diselesaikan di luar pengadilan, bisa diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif.
“Tujuan kami bukan untuk mengurangi isi lembaga pemasyarakatan, tetapi kami jawab kepada masyarakat bahwa hukum itu tidak tajam ke bawah tumpul ke atas,” ujarnya. (***)