Kajati Sultra Dorong Penerapan Restorative Justice dalam  Penyelesaian Perkara Pidana Ringan  yang Terjadi di Masyarakat

Kajati Sultra, Raimel Jesaja

.

KENDARI – Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara (Kejati Sultra) mendorong penerapan Restorative Justice (RJ) atau keadilan restoratif, dengan cara mediasi berupa pendekatan dialog, sebagai solusi penyelesaian perkara pidana yang terjadi di kalangan masyarakat.

Kepala Kejati Sultra, Raimel Jesaja, mengatakan bahwa pihaknya terus mendorong penerapan Restorative Justice sebagai solusi dalam penyelesaian perkara pidana yang terjadi di tengah masyarakat. 

“Kejaksaan bisa saja tidak melimpahkan ke Pengadilan. Kenapa? Karena ternyata ada pertimbangan hati nurani. Sebab, dalam menangani suatu kasus pidana umum, tidak serta merta hanya melihat pelanggar hukum kemudian dipenjarakan,” katanya.

Dia menyebut, hal itu merujuk dari yang diisyaratkan di dalam kitab undang-undang hukum acara pidana di dalam pasal 139, bahwa suatu perkara dapat tidaknya dilimpahkan ke pengadilan.

“Jadi di sini ada frase, dapat tidaknya. Berarti Kejaksaan bisa saja tidak melimpahkan ke Pengadilan,” ujar dia.

Menurutnya, perkara atau kasus pidana yang terjadi di lingkungan masyarakat tidak semua harus berujung di Pengadilan. 

Namun penyelesaiannya bisa juga ditempuh secara kekeluargaan melalui musyawarah kesepakatan antara pelaku, korban serta pihak terkait lainnya, agar dapat mengembalikan hubungan sosial yang harmonis di lingkungan masyarakat.

“Kalau sudah berdamai, kemudian sudah terjadi pemulihan kembali sesuai yang diisyaratkan dalam Pasal 6 Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Restorative Justice. Di situ dikatakan dua hal yang bisa dilakukan RJ. Pertama sudah ada perdamaian. Kedua pemulihan kembali,” ujar dia.

Dia mencontohkan kasus yang dapat diselesaikan melalui Restorative Justice yakni pencurian sendal, pencuri HP, pencuri buah dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Beberapa kasus tersebut bisa dihentikan melalui Restorative Justice. Namun dengan catatan, kedua bela pihak sepakat berdamai dan ada pengembalian.

“Tapi kalau orang hilang nyawanya atau orang dibunuh, perkara pembunuhan, itu ndak bisa RJ. Karena siapa yang bisa kasih kembali kita punya nyawa,” jelas dia.

Kejati Sultra menyebut, semua Kejaksaan Negeri (Kejari) di provinsi sudah memiliki rumah perdamaian masyarakat (house of restorative justice). 

Rumah RJ dipakai untuk menyelesaikan masalah secara kekeluargaan atau penghentian perkara tanpa harus berujung ke pengadilan.

Kejati Sultra mencatat sudah menyelesaikan 14 kasus pidana di provinsi tersebut dengan cara Restorative Justice.

“Hukum itu harus humanis dan berkeadilan. Hukum bisa memberikan manfaat dampak kepada masyarakat  khususnya pencari keadilan,” katanya. (**)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *