JAKARTA – Masalah utang dana talangan untuk kasus penyelesaian lumpur Lapindo yang ditanggung perusahaan Bakrie, PT Lapindo Brantas Inc. dan PT Minarak Lapindo Jaya, kini memasuki babak baru.
Kementerian Keuangan telah menyerahkan penagihan utang negara itu kepada Kejaksaan Agung.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Rionald Silaban, mengatakan penyelesaian terkait tagihan negara ke Lapindo sudah dikuasakan kepada Kejaksaan Agung (Kejagung).
“Jadi kita sudah menunjuk kuasa kita ke Kejaksaan Agung dan kita sudah menyampaikan pandangan kita ke Kejaksaan Agung,” ujar Rionald dalam acara Bincang Bareng DJKN, Jumat (14/10/2022).
Dengan begitu, tim Kejaksaan Agung yang melakukan penagihan ke Lapindo.
“Di satu pihak pemerintah harus memastikan bahwa hak rakyat itu bisa dipenuhi. Pada saat yang bersamaan pemerintah harus memastikan bahwa pihak terkait harus bertanggung jawab,” tegas Rio.
Utang Lapindo ini berawal pada Maret 2007. Saat itu pemerintah memberikan dana talangan untuk ganti rugi bencana Lumpur Lapindo melalui perjanjian Pemberian Pinjaman Dana Antisipasi.
Dana tersebut untuk melunasi pembelian tanah dan bangunan milik warga yang menjadi korban Luapan Lumpur Sidoarjo, sesuai Peta Area Terdampak 22 Maret 2007.
Pada saat itu, perusahaan Bakrie memperoleh pinjaman Rp 781,68 miliar, namun utang yang ditarik dari pemerintah (dana talangan) sebesar Rp 773,8 miliar.
Perjanjian pinjaman tersebut memiliki tenor 4 tahun dengan suku bunga 4,8%.
Sedangkan denda yang disepakati adalah 1/1.000 per hari dari nilai pinjaman. Kala perjanjian disepakati, Lapindo akan mencicil empat kali sehingga tidak perlu membayar denda atau lunas pada 2019 lalu.
Nyatanya hingga saat jatuh tempo, Lapindo baru mencicil satu kali dan besarannya hanya Rp 5 miliar dari total utang Rp 773,8 miliar tersebut.
Sampai saat ini belum ada pembayaran lanjutan, sehingga utangnya makin bertambah karena denda terus berjalan. (***)