JAKARTA – Dalam sistem hukum pidana Indonesia, penjara merupakan salah satu hukuman pokok bagi pelaku tindak pidana. Pemberian hukuman penjara merupakan perwujudan dari pelaksanaan sistem retributive justice.
Dengan dipenjara, diharapkan pelaku tindak pidana mendapat pembinaan agar menyadari dan menyesali kesalahannya, bertanggungjawab atas perbuatannya, memperbaiki diri, dan tidak melakukan tidak pidana lagi ketika kembali ke masyarakat.
Namun pada kenyataannya, tujuan dari sistem pemenjaraan ini tidak serta merta dapat terlaksana karena sejumlah permasalahan. Salah satunya yaitu kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan (Lapas).
Guna mengatasi kelebihan penghuni penjara, pemerintah berupaya membangun Lapas sebanyak-banyaknya untuk menampung para narapidana. Namun, pembangunan tersebut bukanlah solusi dalam menyelesaikan kelebihan kapasitas Lapas. Karena setiap hari ada ratusan orang yang melakukan tindak pidana dan dijebloskan ke penjara.
Selain itu, memperbanyak Lapas berarti juga menambah biaya yang harus dikeluarkan oleh negara. Mulai dari pembangunan Lapas, pemeliharaannya, perlengkapannya, sampai makan minum penghuninya.
Untuk mengatasi permasalahan ini, restorative justice hadir sebagai terobosan hukum. Keadilan restoratif menuntut dilakukannya perubahan terhadap pemulihan perilaku menyimpang dari narapidana.
Melalui restorative justice, pembinaan terhadap narapidana tidak hanya dilakukan di dalam Lapas. Namun dapat dilakukan di tengah masyarakat, seperti kerja sosial, pelatihan dan lainnya.
Peran keadilan restoratif diharapkan mengembalikan pelaku tindak pidana menjadi manusia yang seutuhnya yang tidak mengurangi hak-hak pelaku dan juga korban.
Oleh karena itu, penerapan restorative justice dalam mengatasi perkara merupakan solusi yang efektif untuk mengurangi kelebihan kapasitas Lapas.
Secara umum, tujuan penyelesaian hukum tersebut guna menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana. Selain itu, tujuan lain dari restorative justice adalah untuk mendapatkan putusan hukum yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku.
Sepanjang 2021 hingga Maret 2022, terdapat 15.039 perkara hukum yang selesai lewat restorative justice. Jumlah ini meningkat 28,3% dari tahun sebelumnya, yaitu sebesar 9.199 kasus.
Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, ada beberapa kasus yang dapat diselesaikan lewat restorative justice.
Kasus yang dapat dilakukan restorative justice antar lain; yang tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat, tidak berdampak pada konflik sosial, tidak berpotensi memecah belah bangsa, tidak bersifat radikalisme dan separatisme, serta bukan pengulangan pelaku tindak pidana berdasarkan putusan Pengadilan.
Adapun tindak pidana kejahatan seperti terorisme, pidana terhadap keamanan negara, korupsi, dan perkara terhadap nyawa orang, tidak bisa diselesaikan dengan restorative justice.
Penghentian penuntutan atau penyelesaian lewat restoratif justice ini perlu memperhatikan kepentingan korban, penghindaran stigma negatif bagi pelaku, respons masyarakat dan kepatutan, serta ketertiban umum. Bagi Kejaksaan, hal ini berkorelasi dengan fungsi Jaksa selaku dominus litis atau pengendali perkara.
“Kejaksaan sebagai pengendali perkara mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak,” kata Jaksa Agung ST Burhanuddin.
Hal itu disampaikan Jaksa Agung, ST Burhanuddin, saat menjadi sebagai keynote speaker dalam Webinar Diskusi Bersama Praktisi ‘Restorative Justice, Apakah Solutif?’ yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), pada Sabtu 16 Juli 2022 lalu.
Jaksa Agung Burhanuddin mengatakan, Kejaksaan harus mampu menyeimbangkan antara aturan yang berlaku dengan interpretasi hukum yang bertumpu pada tujuan kemanfaatan.
Artinya suatu perkara jika diajukan ke Pengadilan tidak hanya semata-mata berdasarkan pelanggaran aturan hukum yang berlaku, namun juga difokuskan pada kemanfaatannya bagi masyarakat.
Kejagung juga membentuh wadah Rumah Restorative Justice atau Rumah RJ. Hal itu sebagai bentuk pelibatan unsur masyarakat dalam setiap upaya perdamaian dengan pendekatan keadilan restoratif dengan melibatkan pihak korban, Tersangka, tokoh atau perwakilan masyarakat, dan pihak lain.
“Rumah RJ akan berfungsi sebagai wadah untuk menyerap nilai-nilai kearifan lokal serta menghidupkan kembali peran serta tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat untuk bersama-sama dengan Jaksa dalam proses penyelesaian perkara yang berorientasikan pada perwujudan keadilan substantif,” kata Burhanuddin.
Selain itu, Jaksa Agung juga menerbitkan Pedoman Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana.
Pedoman ini bertujuan untuk menjadi panduan bagi Jaksa dalam menangani perkara pidana yang melibatkan perempuan dan anak, sekaligus mengoptimalisasi pemenuhan akses keadilan bagi perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum dalam penanganan perkara pidana.
“Pedoman ini juga merupakan terobosan Kejaksaan dalam menjawab persoalan hukum atas teknis pelaksanaan beberapa peraturan perundang-undangan yang ada seperti hambatan prosedur pembuktian kasus, kerancuan dalam menentukan posisi korban dan pelaku, hambatan koordinasi dengan pihak lain terkait dan hambatan SDM Jaksa atau Penuntut Umum yang belum memiliki perspektif gender dan anak,” tutup Burhanuddin.
Salah satu contoh penerapan restorative justice di Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Tangerang, adalah penghentian penuntutan berdasarkan keadilan terhadap tersangka seorang pemulung bernama Ropian bin Narsudi.
Ropian bin Narsudi didakwa melakukan percobaan pencurian besi bekas di dalam perkarangan sebuah perusahaan di kawasan industri di daerah Teluknaga, Kabupaten Tangerang.
Tersangka mencoba mencuri potongan besi bekas. Namun sebelum melakukan aksinya, sudah keburu ketahuan Satpam perusahaan, hingga akhirnya dilaporkan ke polisi.
“Jadi belum sempat mencuri. Nilai potongan besi bekas itu pun kalau dijual ke tukang loak, harganya Rp 230.106. Kemudian antara tersangka dan korban, yakni pihak perusahaan, sudah berdamai yang disaksikan oleh para tokoh masyarakat di Rumah Restorative Justice di Kecamatan Pinang,” ungkap Kepala Kejaksaan Negeri Kota Tangerang, Erich Folanda, Rabu (13/7/2022) lalu. (**)