
JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali memeriksa tiga orang saksi dugaan tindak pidana korupsi di PT Adhi Persada Realti. Dugaan korupsi ini terkait dalam pembelian bidang tanah pada tahun 2012 – 2013.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana, menyampaikan bahwa pemeriksaan saksi dilakukan untuk melengkapi pemberkasan.
“Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pembelian bidang tanah yang dilakukan oleh PT Adhi Persada Realti,” ujar Ketut dalam keterangan tertulis, Kamis (29/9).
Saksi-saksi yang diperiksa adalah: GS selaku Komisaris PT Adhi Persada Realti periode Juli 2013-2014; TWP selaku Manajer Hukum Corporate Secretary PT Adhi Karya; dan BAD selaku Manajer Biro Legal dan Sumber Daya Manusia.
Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan 5 orang tersangka dalam kasus ini. “Terhadap penanganan kasus PT Adhi Persada Realti, hari ini kita tetapkan tersangka 5 orang,” kata Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Kuntadi, Kamis (22/9) lalu.
Kelima orang tersangka tersebut yakni, FF selaku Direktur Utama PT APR; SU selaku Direktur Operasional PT APR; VSH selaku notaris. Lalu, ARS selaku Direktur Utama PT Cahaya Inti Cemerlang (PT CIC) dan NFH selaku Direktur PT CIC.
Kuntadi menjelaskan, PT Adhi Persada Realti dengan tanpa kajian dan melanggar SOP telah melakukan pengadaan tanah di daerah Jalan Raya Limo Cinere, Depok Jawa Barat seluas 20 hektare senilai Rp 60 miliar, yang seolah-olah tanah tersebut adalah milik PT Cahaya Inti Cemerlang (CIC). Tapi, ternyata tanah tersebut bukan milik PT CIC.
Kejagung menyebut, harga yang telah dibayarkan sedianya untuk pembelian tanah seluas 20 hektare atau 200.000 meter persegi. Namun pada kenyataannya yang diperoleh hanya 1,2 hektare atau 12.595 meter persegi dan tidak mempunyai akses jalan.
Kemudian, dengan dalih memasarkan produk pembangunan perumahan di tanah tersebut, APR kembali mengeluarkan dana senilai Rp 26,06 miliar, yang tidak bisa dipertanggungjawabkan penggunaannya.
Akibat perkara ini, negara dirugikan sebesar Rp 86,33 miliar dengan rincian pembelian tanah senilai Rp 60,26 miliar dan operasional sebesar Rp 26,06 miliar. (**)