
JAKARTA – Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengapresiasi langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam mengusut kasus mafia minyak goreng (migor).
Pangkalnya, turut melibatkan otoritas terkait dengan tujuan memperbaiki sistem secara komprehensif sehingga tidak hanya fokus dalam penanganan hukum yang terjadi.
“Saya kira bagus dalam pengertian membuka masalah secara menyeluruh. Saya yakin dari dua tersangka itu akan terkuak yang lainnya dan bisa diselesaikan bersama-sama. Masuk dari satu kasus enggak apa-apa, tapi menempatkan kasus itu dari sistem, kira-kira ada masalah lain? Di arahkan ke sana,” ujarnya dalam diskusi “Kejaksaan Turun Tangan, Mafia Migor Kebingungan” di sela-sela Sound of Justice di SMESCO, Jakarta, pada Sabtu (19/11).
Lebih jauh, Fickar menerangkan, perlunya keterlibatan instansi lain, khususnya Kementerian Perdagangan (Kemendag), dalam membenahi sistem, termasuk tata niaga perdagangan, dalam pengusutan kasus ini agar terjadi pembenahan secara komprehensif.
“Kenapa ada mafia migor, artinya apa? Ada sistem perdagangan tidak sehat. Menurut saya, Mendag (Menteri Perdagangan) harus ikut. Kalau hanya penindakan (hukum), tidak akan selesai, pasti akan ada penyelewengan (lagi di kemudian hari),” katanya.
“Pendekatan (hukum) penyelesaian masalahnya? Menurut saya, memang mengobati, tapi tidak menyehatkan karena ada penyakit lain, kecuali kalau sistem perdagangannya juga diperbaiki,” katanya.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana, dalam kesempatan sama mengungkapkan, pihaknya turut menggandeng Kemendag dalam menangani mafia Migor yang ditaksir merugikan negara hingga Rp18 triliun.
Pangkalnya, melambungnya harga dan minimnya stok migor berdampak signifikan terhadap masyarakat luas bahkan menimbulkan kondisi darurat.
“Kondisi saat kasus minyak goreng dalam keadaan darurat. Sampai dalam 3 bulan, negara menggelontorkan Rp 56 triliun (untuk bansos). Kalau tidak cepat, bisa-bisa kita tidak digaji. Jadi, mau tidak mau, harus ada simultan dalam penanganan, satu sisi (juga) ada pencegahan waktu kita penindakan. Kita juga bantu Kemendag memitigasi risiko. Tata kelola harus kita bangun,” ungkapnya.
Sementara itu, dalam kesempatan sama, jurnalis Aiman Wicaksono juga mengapresiasi langkah Kejagung dalam mengusut kasus korupsi migor.
Sebab, langsung berdampak positif terhadap dinamika di lapangan. Ini berdasarkan pengalamannya saat menginvestigasi perkara tersebut.
“Ketika saya lakukan investigasi, kejaksaan belum turun. Sekitar 10-12 hari kemudian, kejaksaan mulai melakukan penangkapan, penyelidikan, dan sebagainya, dan ada penetapan tersangka lagi, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag. Nggak main-main. Anehnya, dua hari kemudian, saya investigasi di tempat sama, enggak ada antrian (masyarakat membeli migor) lagi. Artinya, mafia minyak goreng itu nyata ada dan hari ini harga turun dan berangsur-angsur normal,” tuturnya.
“Itulah yang kita lihat. Kita hari ini bisa merasakan seperti ini (harga dan stok migor normal) karena ada penegakan hukum, karena ada kerja nyata dari aparat penegak hukum (APH), dan kita tidak mau APH khianati rakyatnya atas kepentingan apapun, segelintir orang-sekelompok karena semuanya harus menunjukkan kemanfaatan,” sambungnya.
Aiman menambahkan, nilai kerugian yang timbul akibat mafia migor sebesar Rp 18 triliun dapat untuk melindungi seluruh warga DKI Jakarta selama sebulan penuh. Hitung-hitungannya, jika populasi ibu kota sebanyak 11-12 juta penduduk dan upah minimum provinsi (UMP) sekitar Rp5 juta, maka setiap 3,5 juta kepala keluarga (KK) yang terdiri dari empat orang dapat menerima atau 14 juta orang dapat menerima Rp5 juta dari Rp18 triliun.
“Rp18 triliun bisa melindungi seluruh masyarakat DKI. Masyarakat DKI itu 11 juta, UMP Rp5 juta lah. Kalau Rp18 triliun dibagi Rp5 juta, ketemunya 3,5 juta orang, kepala keluarga. Kalau 1 KK 4 anggota, berarti 14 juta (orang). Jadi, dengan kerugian minyak goreng bisa menghidupi 1 bulan penduduk Jakarta. Luar biasa. Itu bisa dibayangkan.
“Kalau tadi dilihat, antrian (masyarakat membeli migor) luar biasa. Itu (seperti) antrian pas krismon ’98. Bayangkan, dari harga Rp14.000 bahkan di bawah Rp14.000, taruhlah Rp11.000-Rp.12.000, sekarang naiknya hampir 2 kali lipat. Luar biasa. Ternyata, kalau kita lihat saat ini (setelah adanya penindakan hukum), harganya sudah turun,” tandasnya. (***)