Patgulipat Aspatindo dan PT Bukaka Dalam Proyek Pengadaan Tower PLN Diduga Rugikan Negara Triliunan Rupiah, Kasusnya Sedang Diusut Kejagung

JAKARTA–Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah mengusut kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan tower transmisi PT PLN tahun 2016.

Dalam perkara tersebut, Asosiasi Pembangunan Tower Indonesia (Aspatindo) dan PT Bukaka diduga memonopoli tender proyek pengadaan tower transmisi PT PLN.

“Ada memang dugaan ke sana (monopoli). Tapi nanti kita dalami dulu kasus ini,” tutur Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Supardi di Kejagung, Kamis (28/7/2022).

Menurut Supardi, Direktur Operasional PT Bukaka merupakan Ketua Aspatindo berinisal SH. Namun begitu, dia enggan menegaskan nama jelas dari sosok tersebut.

“Ya Aspatindo kan dikelola. Dia (SH) tuh Aspatindo orang Bukaka lah. Vendor juga. Itu kan ada sekian anggota, jadi Bukaka ini juga jadi vendor juga. Ya ada relevansinya toh (ke Bukaka), orangnya di situ,” jelas dia.

Supardi menyatakan, penyidik masih terus bekerja mendalami kasus dugaan korupsi pengadaan tower transmisi PT PLN itu.

Dia memastikan akan ada waktunya pemeriksaan menyasar ke pihak Aspatindo dan PT Bukaka. “Ya nanti (diperiksa), sabar,” tandasnya.

Kejagung menaikkan status kasus dugaan korupsi pengadaan tower transmisi PT PLN tahun 2016 dari tahap penyelidikan ke penyidikan.

Hal itu berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print- 39/F.2/Fd.2/07/2022 tanggal 14 Juli 2022.

“Menaikkan status penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan tower transmisi tahun 2016 pada PT PLN (persero) ke tahap penyidikan,” tutur Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana, pada Senin (25/7/2022) lalu.

Proyek pengadaan tower transmisi senilai Rp 2,5 triliun ini, diduga bermasalah dan terindikasi korupsi. Menurut Ketut Sumedana, kasus tersebut bermula dari PT PLN yang bekerjasama dengan Asosiasi Pembangunan Tower Indonesia (Aspatindo) dan 14 penyedia pengadaan tower lainnya akan menggarap 9.085 set tower pada 2016.

Dalam proses pengadaannya, kata dia, ditemukan sejumlah unsur perbuatan melawan hukum yang diduga menimbulkan kerugian keuangan negara. Beberapa unsur itu adalah tidak adanya dokumen perencanaan pengadaan.

Pihak pelaksana justru menggunakan Daftar Penyedia Terseleksi (DPT) tahun 2015 dan penyempurnaannya dalam pengadaan tower.

Berdasarkan aturan, mestinya pihak pelaksana menggunakan produk DPT yang dibuat pada tahun 2016.

“Namun, pada kenyataannya DPT 2016 tidak pernah dibuat,” kata Ketut dalam keterangan kepada wartawan, Rabu (27/7).

Sepanjang pengadaan proyek tower, bebernya lagi, PLN diduga selalu mengakomodasi permintaan dari ASPATINDO, sehingga dianggap memengaruhi hasil pelelangan dan pelaksanaan pekerjaan yang dimonopoli oleh PT Bukaka. Adapun Direktur Operasional PT Bukaka merangkap sebagai Ketua Aspatindo.

Selanjutnya, PT Bukaka dan 13 penyedia tower lainnya yang bergabung dalam Aspatindo melakukan pekerjaan dalam periode kontrak Oktober 2016-Oktober 2017. Realisasi pekerjaan itu mencapai 30 persen.

Setelah periode kontrak berakhir, penyedia tower masih mengerjakan proyek selama November 2017-Mei 2018 tanpa ada legal standing.

“Kondisi tersebut memaksa PT PLN (Persero) melakukan adendum pekerjaan pada bulan Mei 2018 yang berisi perpanjangan waktu kontrak selama satu tahun,” terangnya.

Masih kata Ketut, penyidik menduga PLN dan penyedia tower juga melakukan adendum kedua untuk penambahan volume dari 9.085 tower menjadi kurang lebih 10.000 set tower.

Mereka pun melakukan perpanjangan waktu pengerjaan sampai dengan Maret 2019 karena pekerjaan belum selesai.

“Ditemukan tambahan alokasi sebanyak 3.000 set tower di luar kontrak dan addendum,” katanya.

Dalam penyidikan kasus ini, Kejagung telah memeriksa tiga pejabat PT PLN Persero, pada Senin (25/7). Ketiga orang itu adalah: MD, selaku General Manager Pusmankom, C Kepala Divisi SCM tahun 2016, serta NI Kepala Divisi SCM tahun 2021. (**)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *